01/07/10

Demokrasi dan Investor

Oleh: Abu Saliwu Chathumhezhi

Demokrasi dalam kontes kekinian merupakan suatu yang tidak terlepas dari wacana politik baik dalam konteks partisispasi maupun tidak, mulai dari yang kaya setengah kaya maupun yang miskin, demokrasi merupakan objek atau topik hangat dalam diskusi.

Bertolak dari makna demokrasi itu sendiri, sadar atau tidak sadar eforia masyarakat terhadap demokrasi bukan merupakan suatu kebetulan atau paksaan tetapi suatu kebulatan akan harapan serta cita cita yang senantiasa bisa terwujudkan dari system demokrasi.

Dalam praktek demokrasi, logika kekuasaan dikedepankan serta mendahulukan konsep konsep politik etis, dalam hal ini kontrak politik., dimana logika kekuasaan termaktub pada label demokrasi yang selanjutnya termanifestasi pada kepentingan sepihak, dan menafikan Kemaslahatan kolektif yang mejadi makna dari demokrasi tersebut.

Hal tersebut senada dengan Nicollo Machiavelli dimana “Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.”

Dalam kerangka lebih luas, Logika kekuasaan ini bukan fenomone baru tetapi awal dari munculnya demokrasi, logika kekuasaan sudah termaktub didalamnya dan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dengan kata lain sebuah system. Hal ini sama halnya dengan wacana politik tanah air lebih spesifik lagi didaerah kita (kabupaten buton), yang bertujuan untuk melanjutkan apa yang menjadi konsep ideal dari kekuasaan tersebut serta memberikan peluang bagi mereka yang tergabung dalam suatu kelompok .

Realitas

Masyarakat mengharapkan pemilihan pemimpin secara langsung akan berpengaruh positif bagi terciptanya keadaan yang lebih baik. Tetapi, yang muncul justru distorsi antara yang dijanjikan Pemimpin dalam kampanye dan realitas kebijakan publik yang dibuatnya. Lalu, di manakah letak kesalahan demokrasi jika ternyata ia tidak berdampak positif bagi kehidupan rakyat secara umum?

Gelombang demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru harus disyukuri dan perlu terus dijaga kontinuitasnya. Hanya dengan mekanisme demokrasi kesejahteraan sosial ekonomi bisa tersalur secara adil dan merata. Tetapi, harus dipahami, kesejahteraan sosial sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Di situlah titik krusialnya karena demokrasi di Indonesia tak menembus wilayah kebijakan publik yang didominasi para investor yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan yang "terbaik" bagi publik. Itu adalah ciri kuat praktik komersialisasi Birokrasi.

Secara epistemologis, Investor mereduksi makna kebijakan publik semata-mata sebagai alat regulasi untuk menyelesaikan masalah sosial melalui penggunaan rasionalitas teknis. Cara pandang instrumentalis tersebut bermasalah karena realitas sosial ekonomi tak dapat sepenuhnya dipahami melalui rasionalitas teknis. Berbagai metode pemecahan masalah yang digunakan pemimpin cenderung mereduksi kompleksitas sosial yang menyelimuti berbagai masalah di masyarakat ke dalam ukuran-ukuran teknis-ekonomis. Realitas tereduksi hasil interpretasi investor itu lalu menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, berbagai permasalahan nyata di masyarakat tidak terselesaikan karena ada diskrepansi antara realitas dan interpretasi.

Kompleksitas problem dari sebuah system ini mengindikasikan paraktek praktek money politik, dimana tingkat kesejahteraan mengeindikasikan adanya reaksi dari para investor untuk menyumbangkan dananya demi memperlancar kontrak politik yang telah dibangun, dan selanjutnya dana tersebut digunakan oleh sang kandidat untuk memobilisasi masa, dan masyarakat pun dipaksa untuk menjadi pragmatis walaupun keuntungan itu Cuma sesaat saja.

Mitos lain dari Praktek politik di daerah buton ada kecendrungan lain untuk menghapus nilai nilai dari demokrasi itu sendiri, hal ini ditandai dengan ketidak bebasan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi terkait isu isu penyimpangan yang ada. Dan kita harus pahami bahwa kebobrokan suatu system atau konsep bukannya hal itu sendiri melainkan, orang yang menjalankan system itu tidak sesuai dengan substansi atau orientasi dari konsep itu sendiri.

Selanjutnya, dalam proses politik didaerah kita yang terkesan membodohi, bukan karena pertarungan para kandidat, antar partai atau kelompok kepentingan melainkan pertarungan para investor dalam melanjutkan kepentingan mereka. Jadi, ada semacam simbiosis mutualisme dalam menjalankan praktek praktek politik.


Menyadari keterbatasan dalam demokratisasi hal pertama yang harus di lakukan untuk menutupi kelemahan serta penyalahgunaan kepemimpinan serta pengetahuan yang pertama, adalah menerapkan pendidikan politik dalam lapisan masyarakat, serta pemahaman tentang demokrasi, diperluas megenai hak hak asasi manusia ataupun melewati dimensi dimensi yang selama ini tidak disentuh langsung oleh demokrasi itu sendiri. Yang kedua adalah pembatasan dari makna demokrasi yang selama ini dipahami sebagai orang yang membebaskan semua individu – individu dalam mempraktekkan demokrasi, dalam artian bahwa harus ada regulasi yang membendung dari interpretasi demokrasi, serta di arahkan pada dimensi dimensi lain berupa sains maupun hal hal yang bersifat edukasi. Dan yang ketiga adalah mengenai kesejahteraan masyarakat, dalam sosiologi politik tingkat kesejahteraan masyarakat bisa mempengaruhi tingkat partisipasi politik maupun tingkat pelanggaran dalam demokratisasi, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah mengenai pembebasan masyrakat dari kemiskinan serta harus ada konsep yang ideal yang berpihak pada rakyat kecil dalam menanggapi problem masyarakat, dan selanjutnya termanifestasi dalam setiap kebijakan kebijakan pemerintah.

Dari Dugaan Penyelewengan Dana Sampai Ketidaklulusan Siswa

Angka kelulusan di SMA 1 Mawasangka cukup memprihatinkan. Sepintas adalah hal biasa jika kita berpikir dan memandangnya dari prespektif bahwa terpuruknya kualitas pendidikan adalah efek dari sebuah sistem yang tidak pernah memihak pada keadilan rakyat secara general.
Tapi yg terjadi di SMA 1 Mawasangka lain dari yang lain. Jika yang menjadi indikator ketidaklulusan di banyak sekolah atau daerah adalah kompentensi siswa, namun di SMA 1 Mawasangka lain.

Ini dimulai ketika kepala Sekolah SMA Neg. 1 Mawasangka menghadapi persoalan dugaan Penyelewengan Dana BOP & Komite. Terkait persoalan ini, beberapa orang tua siswa telah diundang untuk melakukan hearing di DPRD. Namun, menurut pengakuan salah seorang orang tua siswa, agenda hearing tersebut telah diskenario sedemikian rupa untuk mematikan gerak mereka. Karena agenda yg tertuang dalam undangan yg dilayangkan pihak DPRD kepada orang tua siswa tidak relevan dengan isu atau masalah yg sesungguhnya akan mereka angkat. Sehingga agenda tersebut berakhir dengan kekecewaaan di pihak orang tua siswa.
Menariknya, ternyata orang tua siswa itu sendiri tidak satu kata dalam menanggapi persoalan ini. Terjadi pro-kontra di kalangan komite itu sendiri. Ada yang meninginkan hal ini diproses secara hukum, ada yang mengatakan tidak perlu karena tidak terbukti atau alasan-alasan klasik bahwa yang menginginkan persoalan ini diproses secara hukum adalah mereka yang iri dengan keadaan ekonomi sang Kepala sekolah yang terlihat mulai "Mapan".

Masalah ini tidak berhenti begitu saja. Konon, akan ada tim yg turun untuk mengaudit / memeriksa sang Kepala Sekolah terkait persoalan itu.

Yang menarik dari persoalan ini adalah -sebagaimana diakui seorang orang tua siswa yg pro terhadap Kepala Sekolah yg berinisial RS- bahwa sebahagian besar siswa yg tidak lulus karena orang tuanya berada di pihak yg gencar melakukan upaya hukum atau kontra terhadap kepala sekolah. Setiap siswa diidentifikasi berdasarkan keberpihakan orang tuanya. Jika orang tuanya berada di posisi kontra terhadap kepala sekolah, maka siswa tersebut sengaja tidak diluluskan.

Sampai disini, kita melihat bahwa para domba2 politik telah salah menjadikan dunia pendidikan sebagai media pertaruhan kekuasan dan image politik itu sendiri. Siswa yang semestinya harus dididik dengan sungguh2 untuk mencapai kemanusiaannya justeru menjadi korban dari pertarungan menang-kalah ala domba, saling menanduk.

09/07/09

Dendam

Oleh : Wahyoe Al Amien

Tak habis-habisnya membelenggu manusia, menyeret ketenangan pada darah dan air mata. Setiap sudut dunia terkapar manusia di tengah dahsyatnya gelombang ketamakan. Untuk sebuah dendam yang terpahat selama berabad-abad lamanya. Pada ketenangan ia menari. Gemulai di tengah sorak para penjilat dan pemangkas hak pada kedamaian. Seribu tanya menghampiri keseriusan mengacuhkannya. Apakah sayap-sayap malaikat harus terus berguguran karenanya? Atau tentang sirnanya bait-bait namaNya yang selalu tergumam di setiap hati manusia, akankah terus berada dalam kebekuan?

Oh hati yang tak lagi memerah. Bosankah jika beberapa tangan mulai berkibar dalam kepalan untuk menghantam keceriaannya? Setelah waktu terus berputar untuk kenyataan yang itu-itu saja. Pembunuhan, pemerkosaan, pemiskinan, pembodohan, pembantaian, peperangan, masihkah ada doa untuk kesirnaannya?

Disini akan muncul berjuta pertanyaan tentangnya yang mustahil bisa terjawab. Tentang dendam yang mengisi hampir seluruh kepala manusia. Menyumbat lorong-lorong pikiran untuk memikirkan tangis bayi kelaparan di seberang tembok istana raja. Juga puluhan tuna wisma yang terbaring menggigil di puncak malam pada emperan toko yang terus menawarkan kebuasan.

Kantung-kantung tebal terlihat terkunci rapat. Masih menunggu tuannya untuk membukanya dan meyerahkannya pada pembohong. Mereka, para pembohong itu, berbaris rapi menunggu giliran untuk mengganggu teduh kearifan. Masing-masing terlihat membawa senjata dengan bentuk yang beraneka ragam untuk menghantam makhluk dan meminum darahnya. Bukan untuk siapa. Tapi untuk sebuah dendam yang terus menari di tengah hidup yang tergadaikan.

Bangkai-bangkai busuk menjadi pemandangan biasa. Anak-anak tanpa orang tua berbaris menunggu uluran tangan yang tak jua tiba. Hanya sedikit makanan hadir dan tak menghentikan kerinduan pada ketenangan. Panser-panser iblis bak semut mengelilingi sebutir beras yang tercecer. Mengerumuni dan menghabisi nyawa untuk tuan-tuan perampok semesta. Seorang kakek termenung menyesali mengapa ia harus dilahirkan di bumi, tempat segala dusta kesakitan hidup dan menampakkan kemerdekaannya. Siang membakar, malam membeku. Orang-orang itu hampir berdamai dengan kemunafikan karena kebenaran hanyalah omong kosong mimpi.

Dendam,
Pada segalah harap untuk mengenyahkan manusia lain. Karena sekantung keinginan yang terkadang menggadaikan kemanusiaan. Agama, budaya, moral, etika, adalah setumpuk kotoran yang terbungkus kantung kresek hitam di tangan para pendendam itu. Sirna sudah harapan untuk menggali kembali hakikat di antara ribuan pendendam yang terus berpesta dalam aula kelam kehidupan. Karena tuhan-tuhan mereka telah menyerukan untuk membasmi satu sama lain. Untuk sebuah penyucian di atas dendam yang diselimuti harapan kebahagiaan hidup di surga.

Dosa adalah kebaikan untuk sebuah dendam. Hitam putih kenyataan adalah goresan tangan tuhan yang mesti di yakini. Kemudian dengan sejuta khotbah api berusaha membakar orang-orang bodoh yang merelakan dirinya menjadi pelayan dendam. Kata-kata adalah sebilah pedang yang siap memotong hasrat pada kedamaian. Kuku-kuku tajam siap mencabik setiap suara lirih protes untuknya.

Malam kembali hadir. Mimpi buruk terus berlangsung di pentas lelap manusia. Bulan terusik suara gaduh meriam-meriam iblis. Dendam masih terjaga…….

Tamalanrea, 210407 – 02:37



Pembaiatan Camaba '08