09/07/09

Dendam

Oleh : Wahyoe Al Amien

Tak habis-habisnya membelenggu manusia, menyeret ketenangan pada darah dan air mata. Setiap sudut dunia terkapar manusia di tengah dahsyatnya gelombang ketamakan. Untuk sebuah dendam yang terpahat selama berabad-abad lamanya. Pada ketenangan ia menari. Gemulai di tengah sorak para penjilat dan pemangkas hak pada kedamaian. Seribu tanya menghampiri keseriusan mengacuhkannya. Apakah sayap-sayap malaikat harus terus berguguran karenanya? Atau tentang sirnanya bait-bait namaNya yang selalu tergumam di setiap hati manusia, akankah terus berada dalam kebekuan?

Oh hati yang tak lagi memerah. Bosankah jika beberapa tangan mulai berkibar dalam kepalan untuk menghantam keceriaannya? Setelah waktu terus berputar untuk kenyataan yang itu-itu saja. Pembunuhan, pemerkosaan, pemiskinan, pembodohan, pembantaian, peperangan, masihkah ada doa untuk kesirnaannya?

Disini akan muncul berjuta pertanyaan tentangnya yang mustahil bisa terjawab. Tentang dendam yang mengisi hampir seluruh kepala manusia. Menyumbat lorong-lorong pikiran untuk memikirkan tangis bayi kelaparan di seberang tembok istana raja. Juga puluhan tuna wisma yang terbaring menggigil di puncak malam pada emperan toko yang terus menawarkan kebuasan.

Kantung-kantung tebal terlihat terkunci rapat. Masih menunggu tuannya untuk membukanya dan meyerahkannya pada pembohong. Mereka, para pembohong itu, berbaris rapi menunggu giliran untuk mengganggu teduh kearifan. Masing-masing terlihat membawa senjata dengan bentuk yang beraneka ragam untuk menghantam makhluk dan meminum darahnya. Bukan untuk siapa. Tapi untuk sebuah dendam yang terus menari di tengah hidup yang tergadaikan.

Bangkai-bangkai busuk menjadi pemandangan biasa. Anak-anak tanpa orang tua berbaris menunggu uluran tangan yang tak jua tiba. Hanya sedikit makanan hadir dan tak menghentikan kerinduan pada ketenangan. Panser-panser iblis bak semut mengelilingi sebutir beras yang tercecer. Mengerumuni dan menghabisi nyawa untuk tuan-tuan perampok semesta. Seorang kakek termenung menyesali mengapa ia harus dilahirkan di bumi, tempat segala dusta kesakitan hidup dan menampakkan kemerdekaannya. Siang membakar, malam membeku. Orang-orang itu hampir berdamai dengan kemunafikan karena kebenaran hanyalah omong kosong mimpi.

Dendam,
Pada segalah harap untuk mengenyahkan manusia lain. Karena sekantung keinginan yang terkadang menggadaikan kemanusiaan. Agama, budaya, moral, etika, adalah setumpuk kotoran yang terbungkus kantung kresek hitam di tangan para pendendam itu. Sirna sudah harapan untuk menggali kembali hakikat di antara ribuan pendendam yang terus berpesta dalam aula kelam kehidupan. Karena tuhan-tuhan mereka telah menyerukan untuk membasmi satu sama lain. Untuk sebuah penyucian di atas dendam yang diselimuti harapan kebahagiaan hidup di surga.

Dosa adalah kebaikan untuk sebuah dendam. Hitam putih kenyataan adalah goresan tangan tuhan yang mesti di yakini. Kemudian dengan sejuta khotbah api berusaha membakar orang-orang bodoh yang merelakan dirinya menjadi pelayan dendam. Kata-kata adalah sebilah pedang yang siap memotong hasrat pada kedamaian. Kuku-kuku tajam siap mencabik setiap suara lirih protes untuknya.

Malam kembali hadir. Mimpi buruk terus berlangsung di pentas lelap manusia. Bulan terusik suara gaduh meriam-meriam iblis. Dendam masih terjaga…….

Tamalanrea, 210407 – 02:37



Pembaiatan Camaba '08