Oleh: Abu Saliwu Chathumhezhi
Demokrasi dalam kontes kekinian merupakan suatu yang tidak terlepas dari wacana politik baik dalam konteks partisispasi maupun tidak, mulai dari yang kaya setengah kaya maupun yang miskin, demokrasi merupakan objek atau topik hangat dalam diskusi.
Bertolak dari makna demokrasi itu sendiri, sadar atau tidak sadar eforia masyarakat terhadap demokrasi bukan merupakan suatu kebetulan atau paksaan tetapi suatu kebulatan akan harapan serta cita cita yang senantiasa bisa terwujudkan dari system demokrasi.
Dalam praktek demokrasi, logika kekuasaan dikedepankan serta mendahulukan konsep konsep politik etis, dalam hal ini kontrak politik., dimana logika kekuasaan termaktub pada label demokrasi yang selanjutnya termanifestasi pada kepentingan sepihak, dan menafikan Kemaslahatan kolektif yang mejadi makna dari demokrasi tersebut.
Hal tersebut senada dengan Nicollo Machiavelli dimana “Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.”
Dalam kerangka lebih luas, Logika kekuasaan ini bukan fenomone baru tetapi awal dari munculnya demokrasi, logika kekuasaan sudah termaktub didalamnya dan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dengan kata lain sebuah system. Hal ini sama halnya dengan wacana politik tanah air lebih spesifik lagi didaerah kita (kabupaten buton), yang bertujuan untuk melanjutkan apa yang menjadi konsep ideal dari kekuasaan tersebut serta memberikan peluang bagi mereka yang tergabung dalam suatu kelompok .
Realitas
Masyarakat mengharapkan pemilihan pemimpin secara langsung akan berpengaruh positif bagi terciptanya keadaan yang lebih baik. Tetapi, yang muncul justru distorsi antara yang dijanjikan Pemimpin dalam kampanye dan realitas kebijakan publik yang dibuatnya. Lalu, di manakah letak kesalahan demokrasi jika ternyata ia tidak berdampak positif bagi kehidupan rakyat secara umum?
Gelombang demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru harus disyukuri dan perlu terus dijaga kontinuitasnya. Hanya dengan mekanisme demokrasi kesejahteraan sosial ekonomi bisa tersalur secara adil dan merata. Tetapi, harus dipahami, kesejahteraan sosial sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Di situlah titik krusialnya karena demokrasi di Indonesia tak menembus wilayah kebijakan publik yang didominasi para investor yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan yang "terbaik" bagi publik. Itu adalah ciri kuat praktik komersialisasi Birokrasi.
Secara epistemologis, Investor mereduksi makna kebijakan publik semata-mata sebagai alat regulasi untuk menyelesaikan masalah sosial melalui penggunaan rasionalitas teknis. Cara pandang instrumentalis tersebut bermasalah karena realitas sosial ekonomi tak dapat sepenuhnya dipahami melalui rasionalitas teknis. Berbagai metode pemecahan masalah yang digunakan pemimpin cenderung mereduksi kompleksitas sosial yang menyelimuti berbagai masalah di masyarakat ke dalam ukuran-ukuran teknis-ekonomis. Realitas tereduksi hasil interpretasi investor itu lalu menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, berbagai permasalahan nyata di masyarakat tidak terselesaikan karena ada diskrepansi antara realitas dan interpretasi.
Kompleksitas problem dari sebuah system ini mengindikasikan paraktek praktek money politik, dimana tingkat kesejahteraan mengeindikasikan adanya reaksi dari para investor untuk menyumbangkan dananya demi memperlancar kontrak politik yang telah dibangun, dan selanjutnya dana tersebut digunakan oleh sang kandidat untuk memobilisasi masa, dan masyarakat pun dipaksa untuk menjadi pragmatis walaupun keuntungan itu Cuma sesaat saja.
Mitos lain dari Praktek politik di daerah buton ada kecendrungan lain untuk menghapus nilai nilai dari demokrasi itu sendiri, hal ini ditandai dengan ketidak bebasan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi terkait isu isu penyimpangan yang ada. Dan kita harus pahami bahwa kebobrokan suatu system atau konsep bukannya hal itu sendiri melainkan, orang yang menjalankan system itu tidak sesuai dengan substansi atau orientasi dari konsep itu sendiri.
Selanjutnya, dalam proses politik didaerah kita yang terkesan membodohi, bukan karena pertarungan para kandidat, antar partai atau kelompok kepentingan melainkan pertarungan para investor dalam melanjutkan kepentingan mereka. Jadi, ada semacam simbiosis mutualisme dalam menjalankan praktek praktek politik.
Menyadari keterbatasan dalam demokratisasi hal pertama yang harus di lakukan untuk menutupi kelemahan serta penyalahgunaan kepemimpinan serta pengetahuan yang pertama, adalah menerapkan pendidikan politik dalam lapisan masyarakat, serta pemahaman tentang demokrasi, diperluas megenai hak hak asasi manusia ataupun melewati dimensi dimensi yang selama ini tidak disentuh langsung oleh demokrasi itu sendiri. Yang kedua adalah pembatasan dari makna demokrasi yang selama ini dipahami sebagai orang yang membebaskan semua individu – individu dalam mempraktekkan demokrasi, dalam artian bahwa harus ada regulasi yang membendung dari interpretasi demokrasi, serta di arahkan pada dimensi dimensi lain berupa sains maupun hal hal yang bersifat edukasi. Dan yang ketiga adalah mengenai kesejahteraan masyarakat, dalam sosiologi politik tingkat kesejahteraan masyarakat bisa mempengaruhi tingkat partisipasi politik maupun tingkat pelanggaran dalam demokratisasi, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah mengenai pembebasan masyrakat dari kemiskinan serta harus ada konsep yang ideal yang berpihak pada rakyat kecil dalam menanggapi problem masyarakat, dan selanjutnya termanifestasi dalam setiap kebijakan kebijakan pemerintah.
Demokrasi dalam kontes kekinian merupakan suatu yang tidak terlepas dari wacana politik baik dalam konteks partisispasi maupun tidak, mulai dari yang kaya setengah kaya maupun yang miskin, demokrasi merupakan objek atau topik hangat dalam diskusi.
Bertolak dari makna demokrasi itu sendiri, sadar atau tidak sadar eforia masyarakat terhadap demokrasi bukan merupakan suatu kebetulan atau paksaan tetapi suatu kebulatan akan harapan serta cita cita yang senantiasa bisa terwujudkan dari system demokrasi.
Dalam praktek demokrasi, logika kekuasaan dikedepankan serta mendahulukan konsep konsep politik etis, dalam hal ini kontrak politik., dimana logika kekuasaan termaktub pada label demokrasi yang selanjutnya termanifestasi pada kepentingan sepihak, dan menafikan Kemaslahatan kolektif yang mejadi makna dari demokrasi tersebut.
Hal tersebut senada dengan Nicollo Machiavelli dimana “Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.”
Dalam kerangka lebih luas, Logika kekuasaan ini bukan fenomone baru tetapi awal dari munculnya demokrasi, logika kekuasaan sudah termaktub didalamnya dan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dengan kata lain sebuah system. Hal ini sama halnya dengan wacana politik tanah air lebih spesifik lagi didaerah kita (kabupaten buton), yang bertujuan untuk melanjutkan apa yang menjadi konsep ideal dari kekuasaan tersebut serta memberikan peluang bagi mereka yang tergabung dalam suatu kelompok .
Realitas
Masyarakat mengharapkan pemilihan pemimpin secara langsung akan berpengaruh positif bagi terciptanya keadaan yang lebih baik. Tetapi, yang muncul justru distorsi antara yang dijanjikan Pemimpin dalam kampanye dan realitas kebijakan publik yang dibuatnya. Lalu, di manakah letak kesalahan demokrasi jika ternyata ia tidak berdampak positif bagi kehidupan rakyat secara umum?
Gelombang demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru harus disyukuri dan perlu terus dijaga kontinuitasnya. Hanya dengan mekanisme demokrasi kesejahteraan sosial ekonomi bisa tersalur secara adil dan merata. Tetapi, harus dipahami, kesejahteraan sosial sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Di situlah titik krusialnya karena demokrasi di Indonesia tak menembus wilayah kebijakan publik yang didominasi para investor yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan yang "terbaik" bagi publik. Itu adalah ciri kuat praktik komersialisasi Birokrasi.
Secara epistemologis, Investor mereduksi makna kebijakan publik semata-mata sebagai alat regulasi untuk menyelesaikan masalah sosial melalui penggunaan rasionalitas teknis. Cara pandang instrumentalis tersebut bermasalah karena realitas sosial ekonomi tak dapat sepenuhnya dipahami melalui rasionalitas teknis. Berbagai metode pemecahan masalah yang digunakan pemimpin cenderung mereduksi kompleksitas sosial yang menyelimuti berbagai masalah di masyarakat ke dalam ukuran-ukuran teknis-ekonomis. Realitas tereduksi hasil interpretasi investor itu lalu menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, berbagai permasalahan nyata di masyarakat tidak terselesaikan karena ada diskrepansi antara realitas dan interpretasi.
Kompleksitas problem dari sebuah system ini mengindikasikan paraktek praktek money politik, dimana tingkat kesejahteraan mengeindikasikan adanya reaksi dari para investor untuk menyumbangkan dananya demi memperlancar kontrak politik yang telah dibangun, dan selanjutnya dana tersebut digunakan oleh sang kandidat untuk memobilisasi masa, dan masyarakat pun dipaksa untuk menjadi pragmatis walaupun keuntungan itu Cuma sesaat saja.
Mitos lain dari Praktek politik di daerah buton ada kecendrungan lain untuk menghapus nilai nilai dari demokrasi itu sendiri, hal ini ditandai dengan ketidak bebasan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi terkait isu isu penyimpangan yang ada. Dan kita harus pahami bahwa kebobrokan suatu system atau konsep bukannya hal itu sendiri melainkan, orang yang menjalankan system itu tidak sesuai dengan substansi atau orientasi dari konsep itu sendiri.
Selanjutnya, dalam proses politik didaerah kita yang terkesan membodohi, bukan karena pertarungan para kandidat, antar partai atau kelompok kepentingan melainkan pertarungan para investor dalam melanjutkan kepentingan mereka. Jadi, ada semacam simbiosis mutualisme dalam menjalankan praktek praktek politik.
Menyadari keterbatasan dalam demokratisasi hal pertama yang harus di lakukan untuk menutupi kelemahan serta penyalahgunaan kepemimpinan serta pengetahuan yang pertama, adalah menerapkan pendidikan politik dalam lapisan masyarakat, serta pemahaman tentang demokrasi, diperluas megenai hak hak asasi manusia ataupun melewati dimensi dimensi yang selama ini tidak disentuh langsung oleh demokrasi itu sendiri. Yang kedua adalah pembatasan dari makna demokrasi yang selama ini dipahami sebagai orang yang membebaskan semua individu – individu dalam mempraktekkan demokrasi, dalam artian bahwa harus ada regulasi yang membendung dari interpretasi demokrasi, serta di arahkan pada dimensi dimensi lain berupa sains maupun hal hal yang bersifat edukasi. Dan yang ketiga adalah mengenai kesejahteraan masyarakat, dalam sosiologi politik tingkat kesejahteraan masyarakat bisa mempengaruhi tingkat partisipasi politik maupun tingkat pelanggaran dalam demokratisasi, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah mengenai pembebasan masyrakat dari kemiskinan serta harus ada konsep yang ideal yang berpihak pada rakyat kecil dalam menanggapi problem masyarakat, dan selanjutnya termanifestasi dalam setiap kebijakan kebijakan pemerintah.