27/06/09

Saliwu Makassar dalam wacana Miring; Surat untuk Masyarakat Mawasangka

Oleh; Wahyoe Al Amien

Euphoria yang merambah masyarakat kita sejak reformasi 98 dalam bentuk kaburnya batasan-batasan prilaku politik masih terlestarikan. Kondisi ini adalah implikasi dari misinterpretasi terhadap sisi kebebasan dalam demokrasi. Juga tentang salah kaprah terhadap mekanisme proses demokratisasi di negeri ini. Parahnya lagi, apa yang di sebut Islah Gusmian dengan homo speacholic (masyarakat gila bicara) akibat terpaan gelombang kebebebasan yang dibawa reformasi 98 kemarin, menampakkan batang hidungnya dalam masyarakat kita. Hingga degradasi moral politik menjadi akut. Tujuan pelaksanaan mekanisme pemilu dalam bingkai demokrasi yang membawa spirit perubahan kehidupan masyarakat menjadi naïf. Pikiran para pelaku politik disesaki kepentingan praktis pragmatis pribadinya. Jabatan, pangkat, adalah parameter kematangan berpolitik individu. Tidak peduli betapa bejatnya individu pelaku politik tersebut.

Hancurnya Etika Politik
Dunia politik praktis adalah dunia yang betul-betul membutuhkan kematangan berpikir dalam menjalaninya. Berbagai gelombang miring selalu menghantam pelakunya untuk menguji ketajaman pisau analisa guna mendapatkan sebuah pemahaman yang baik tentang solusi untuk sebuah eksistensi. Dan gelombang-gelombang itu bisa menimpa siapa saja baik individu maupun sebuah kelompok. Apalagi dalam kehidupan politik masyarakat kita, yang kalau mau jujur dalam hal ini, setiap elitnya masih seperti balita yang belajar merangkak. Bahkan jikamereka, para elit itu, telah berpuluh-puluh tahun diklaim sebagai elit politik.

Betapa tidak, nilai-nilai etika politik yang semestinya menjadi warna kehidupan politik menjadi tidak terlihat. Apalagi jika kita berbicara tentang proses demokrasi sesungguhnya yang lebih menekankan pada aspek kemanusiaan, sangat pantas dikatakan nihil. Padahal aspek kemanusiaan iniliah yang seharusnya menjadi parameter kematangan berpolitik. Sebuah aspek yang tidak memilah-milah apakah ia pendukung “05” atau pendukung “lain-lain” dalam mengambil sebuah keputusan. Tapi itulah realitas yang tidak terbantahkan. Berpuluh-puluh orang harus berada dalam ketidakpastian datangnya Surat Keputusan Magang hanya karena salah satu keluarganya tidak memilih “05”. Ironis. Di satu sisi penguasa hari ini menginginkan kestabilan politik dengan menekankan para lawan-lawan politiknya—sewaktu pilkada kemarin—untuk menerima kenyataan dan kembali menjalani kehidupan normal tanpa perbedaan. Tetapi di sisi lain, setiap kebijakan yang diambil penguasa masih selalu berangkat dari perbedaan bahwa ada masyarakat “05” yang mendukungnya dan masyarakat “lain-lain” yang tidak mendukungnya. Yang “lain-lain” inilah yang dianggap menjadi masyarakat kelas dua, sekali lagi dalam setiap pengambilan keputusan.

Elit Dan Saliwu Makassar
Dalam konteks kekinian, setiap elit yang mencoba menanamkan pengaruhnya di pemerintahan terkadang tanpa alasan yang jelas telah menjadi bulan-bulanan kritikan masyarakat. Persoalannya adalah setiap kritikan tersebut tidak saja dialamatkan pada elit-elit tersebut. Tapi terkadang merambah pada sebuah kelompok yang sesungguhnya tidak memiliki keterikatan pasti dalam wilayah politik pragmatis. Sebutlah misalnya eksistensi salah seorang elit—yang menurut beberapa kelompok masyarakat selalu menjadi patron kami (Saliwu Makassar)—yang kini mulai menjajaki dunia birokrasi pemerintahan. Telah menjadikan kami berpikir panjang untuk bisa membenarkan asumsi masyarakat bahwa elit tersebut, dalam wilayah politik kekuasaan, memiliki keterikatan langsung dengan setiap program pembenahan eksistensi kami hari ini. Apa yang telah menjadi isu bahwa jika kita berbicara Saliwu Makassar berarti berbicara elit tersebut ataupun sebaliknya jika berbicara elit tersebut berarti berbicara Saliwu Makassar, adalah sebuah kesalahan. Saliwu Makassar selalu memberi batasan yang jelas antara wilayah pendidikan dan wilayah politik.

Di saliwu, kami hanya berproses untuk melejitkan potensi diri. Meski ada diskusi-diskusi mengenai perkembangan politik local ataupun nasional, implementasinya tidak sampai pada keterlibatan secara langsung dengan terjun dalam apa yang kami sebut dengan kubangan hitam tersebut. Sampai disini, masyarakat perlu tahu bahwa apa yang kami lakuakan dalam Saliwu Makassar tidak pernah keluar dari lingkaran penggodakan diri dalam wilayah intelektual, emosional dan spiritual. Termasuk dalam persoalan manifestasi dari 3 hal tersebut, politik praktis prgamatis adalah wilayah yang telah menjadi garis merah.
Meski tak bisa disangkal kalau beberapa kader Saliwu Makassar terjun dalam dunia politik praktis pragmatis. Namun keterlibatan beberapa kader Saliwu Makassar tidak sama sekali berangkat dari organisasi. Artinya keterlibatan tersebut adalah menyangkut wilayah privasi kader tersebut, tanpa membawa-bawa eksistensi organisasi Saliwu Makassar. Apalagi jika kita harus berbicara keterlibatan beberapa elit yang memang memiliki latarbelakang Saliwu Makassar atau secara singkatnya pernah menjadi ketua Dewan Pembina, sama sekali salah untuk membawa-bawa nama Saliwu dalam menyorotinya. Saliwu Makassar adalah organisasi yang tidak berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik manapun. Tak terkecuali para elit dan beberapa kadernya.

Sebuah Batasan
Namun perlu diketahui makna politik yang kami maksud dalam hal ini. Dalam keterlibatan politik, gerakan Saliwu Makassar adalah partisipasi politik nilai dan bukan politik kekuasaan. Karena sampai saat ini kami sangat yakin bahwa gerakan-gerakan mahasiswa tidak bebas kepentingan politik. Tentu saja, karena kepentingan pertama dan terutama yang seharusnya diperjuangkan adalah nilai-nilai (values) atau sistem nilai (values system) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi dan solidaritas kepada rakyat yang tertindas. Karena itu oposisi adhoc gerakan kami merupakan gerakan politik nilai (values political movement) dan bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) yang merupakan fungsi dasar partai politik dalam mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan. Jadi, apa yang kami maksud dengan politik sebagai kubangan hitam dan menjadi wilayah sensor activity bagi kami secara organisasi adalah wilyah politik kekuasaan seperti dalam partai politik dan pemerintahan.

Batasan-batasan inilah yang sesungguhnya harus dipahami masyarakat dan birokrasi pemerintahan sebelum mengambil keputusan untuk menjustifikasi Saliwu Makassar terhadap keterlibatannya dalam wilayah politik. Kemudian menyangkut program perjuangan politik nilai, kami sadar bahwa tidak menjadi tanggungjawab kami sendiri. Program ini mesti terlaksana dalam bangunan sinergisitas dengan stakeholder perwujudan masyarakat sejahtera lain seperti organ-organ nonpemerintah bahkan masyarakat sendiri.
Tulisan ini hanyalah klarifikasi dari isu miring yang berkembang di masyarakat mengenai eksistensi Saliwu Makassar dalam kaitannya dengan pasangsurut wacana politik daerah khususnya Mawasangka. Dalam hal ini beberapa kader merasa perlu untuk memberikan penjelasan tentang posisi Saliwu Makassar terhadap konstelasi politik daerah. (#)

Foto2 Penyambutan Camaba 2009
















































































Menarik pelajaran dari wacana klasik “Lembaga Mahasiswa Mawasangka se-Indonesia”

Oleh: Wahyoe Al Amien

Ada sebuah pertanyaan: bagaimana semestinya seorang mahasiswa di tengah masyarakatnya? Pertanyaan tidak sederhana ini lahir dari kerisauan melihat realitas sosial yang berkembang di sekitar kehidupan sehari-hari mengapa kesadaran individu mahasiswa tumpul sementara kesadaran kolektif kelembagaan mahasiswa ternyata semakin lemah. Setiap mahasiswa, apa pun, dalam kerangka ideal eksistensinya memberikan makna dan tuntunan moralitas yang jelas. Begitupun lembaga kemahasiswaan yang menjadi media ataupun sebagai modal moralitas dan sekaligus sumber dan api gagasan yang tidak boleh mati.

Apa dan bagaimanapun itu, di dalam dinamika mahasiswa mawasangka, yang pertama-tama setiap orang telah jelas memiliki kebebasan menafsirkan suatu konsep atau sistem yang mesti dipakai dalam merealisasikan tanggungjawab social kemasyarakatannya. Sehingga pesan yang terkandung dalam penafsirannya tersebut selalu mengikuti bahkan mungkin melibihi tuntutan zamannya. Olehnya itu, adanya suatu pemaksaan konsep tentang bagaimana seharusnya mahasiswa baik secara individual maupun kolektif dalam merespon setiap persoalan masyarakatnya oleh suatu atau beberapa individu mahasiswa terhadap yang lainnya, merupakan suatu bentuk pendustaan terhadap kemerdekaan dalam kerangka kemanusiaan.

Banyak orang meyakini bahwa mahasiswa melalui media atau lembaganya memiliki peran dan fungsi sentral dalam setiap denyut nadi kehidupan masyarakat. Begitu sentralnya peran dan fungsi mahasiswa sehingga kita semestinya optimis menjadikan perdamaian antar mahasiswa sebagai akar dan prasyarat mutlak untuk meraih kedamaian masyarakat untuk keseluruhan.
Pada dasarnya konflik merupakan aspek intrinsic yang tidak mungkin dipisahkan dan dihindarkan dalam sebuah perubahan social yang berlangsung. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan social yang bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Lembaga kemahasiswaan, sekali lagi harus tampil sebagai kekuatan pemersatu yang akan mengikat seluruh masyarakat dalam satu kerangka etis dan tidak selalu mendasarkannya kepada kepentingan sesaat yang cenderung menyesatkan.

Meskipun pentingnya dialog antar mahasiswa mawasangka baik dari makassar, kendari, bau-bau, gorontalo, telah dimaklumi banyak pihak, tetapi satu hal yang seringkali tidak disadari oleh penganjurnya adalah terdapat sejumlah persoalan pemahaman yang bias yang akan menjadi hambatan bagi terciptanya dialog yang dialogis. Persoalan pemahaman tersebut misalnya munculnya kebingungan eksistensi dan sikap individu yang mendua. Ketika berhadapan dengan banyak atau beberapa lembaga, seorang biasanya akan dihadapkan dengan persoalan penting: bagaimanakah seharusnya dia mendefinisikan dirinya di tengah lembaga lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Padahal dalam keyakinan pemahaman kelembagaan yang mapan, akan selalu muncul klaim bahwa lembaga kitalah yang paling baik dan benar, sementara lembaga lain menyimpang.

Nampaknya perlu ditanamkan sebuah kesadaran bahwa ketika program dan tujuan suatu lembaga sudah mencapai kemaslahatannya, maka secara substansial, pada saat itulah seluruh tujuan lembaga-lembaga kemahasiswaan mawasangka telah berlaku. Dalam konteks ini, sistem lembaga mahasiswa Mawasangka Makassar (SALIWU) dengan mempertimbangkan pluralitas dan kemajemukan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, ketika mampu menciptakan kemaslahatan di masyarakat, jauh lebih diperlukan ketimbang memberlakukan keharusan penyatuan setiap elemen kelembagaan dalam skala nasional, jika itu justru menimbulkan mudharat. Sebaliknya, jika pemberlakuan keharusan penyatuan tiap-tiap elemen kelembagaan menjadi skala nasional justru menimbulkan fragmentasi dalam kalangan mahasiswa mawasangka sendiri, maka lembaga kemahasiswaan justru mengalami kematiannya, karena gagal menciptakan maslahah al’ama (kebaikan bersama). Dalam konteksi semacam inilah, maka perlu diwaspadai pembajakan isu penyatuan seluruh elemen mahasiswa mawasangka dalam satu media dengan embel-embel Indonesia oleh beberapa individu. (#)

Pembaiatan Camaba '08